Sabtu, 14 April 2012

AKIDAH MENURUT AJARAN NABI Oleh: Hasan Husen Assagaf Syarah kitab: Al-Aqa’id Ad-Diniyyah Karya: Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf Al-‘Alawi Al-Husaini Al-Syafi’i Al- Asy’ari Ilmu Tauhid ﺍﻟﺪﺭﺱ ﺍﻷﻭﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺪﻣﺔ : ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﻟﻐﺔ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﺸﻴﺊ ﻭﺍﺣﺪ ﻭ ﺍﺻﺘﻼﺣﺎ ﻫﻮ ﻋﻠﻢ ﻳﺒﺤﺚ ﻓﻴﻪ ﻋﻦ ﺇﺛﺒﺎﺏ ﺍﻟﻌﻘﺎﺋﺪ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻤﻜﺘﺴﺐ ﻣﻦ ﺃﺩﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﻴﻘﻴﻨﻴﺔ . ﺛﻤﺮﻩ : ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﺒﺮﺍﻫﻴﻦ ﺍﻟﻘﻄﻌﻴﺔ ﻭﺇﺛﺒﺎﺏ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻜﻤﺎﻝ ﻭ ﺗﻨﺰﻳﻬﻪ ﻋﻦ ﺳﻤﺎﺕ ﺍﻟﻨﻘﺺ ﻭ ﺍﻟﺘﺼﺪﻳﻖ ﺑﺮﺳﻠﻪ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ . ﻣﻮﺿﻮﻋﻪ : ﺫﺍﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭ ﺫﺍﺕ ﺭﺳﻠﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻣﺎ ﻳﺠﺐ ﻭ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﻭ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﻭ ﺍﻟﻤﻤﻜﻦ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺃﻧﻪ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺩ ﺻﺎﻧﻌﻪ ﻭ ﺍﻟﺴﻤﻌﻴﺎﺕ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩﻫﺎ . ﻭﺍﺿﻌﻪ : ﺃﻭﻝ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ ﻭ ﺭﺗﺒﻪ ﻭ ﺃﻟﻒ ﻓﻴﻪ ﺍﻹﻣﺎﻣﺎﻥ : ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻷﺷﻌﺮﻱ ﻭ ﻣﺘﺎﺑﻌﻮﻩ ﻭﺃﺑﻮ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺍﻟﻤﺎﺗﻮﺭﻳﺪﻱ ﻭﻣﺘﺎﺑﻌﻮﻩ . ﺣﻜﻤﻪ : ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﺍﻟﻌﻴﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﻜﻠﻒ ﺫﻛﺮﺍ ﻭ ﺃﻧﺜﻰ ﻭ ﻟﻮ ﺑﺎﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻟﻲ PELAJARAN PERTAMA: ILMU TAUHID SYARAH: Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu esa. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan- kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa. Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara- perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir. Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain. Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya. Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul Nya dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh) Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian: 1. Wajib 2. Mustahil 3. Jaiz (Mungkin) ------------------------------------ 1- WAJIB Wajib dalam ilmu Tauhid berarti menentukan suatu hukum dengan mempergunakan akal bahwa sesuatu itu wajib atau tidak boleh tidak harus demikian hukumnya. Hukum wajib dalam ilmu tauhid ini ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil. Contoh yang ringan, uang seribu 1000 rupiah adalah lebih banyak dari 500 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 1000 rupiah itu lebih banyak dari 500 rupiah. Tidak boleh tidak, harus demikian hukumnya. Contoh lainnya, seorang ayah usianya harus lebih tua dari usia anaknya. Artinya secara akal bahwa si ayah wajib atau harus lebih tua dari si anak Ada lagi hukum wajib yang dapat ditentukan bukan dengan akal tapi harus memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya, Bumi itu bulat. Sebelum akal dapat menentukan bahwa bumi itu bulat, maka wajib atau harus diadakan dahulu penyelidikan dan mencari bukti bahwa bumi itu betul betul bulat. Jadi akal tidak bisa menerima begitu saja tanpa penyelidikan lebih dahulu. Contoh lainnya, sebelum akal menghukum dan menentukan bahwa ”Allah wajib atau harus ada”, maka harus diadakan dahulu penyelidikan yang rapi yang menunjukkan kewujudan atau keberadaan bahwa Allah itu wajib ada. Tentu hal ini perlu dibantu dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al Quran. 2- MUSTAHIL Mustahil dalam ilmu tauhid adalah kebalikan dari wajib. Mustahil dalam ilmu tauhid berarti akal mustahil bisa menentukan dan mustahil bisa menghukum bahwa sesuatu itu harus demikian. Hukum mustahil dalam ilmu tauhid ini bisa ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil. Contohnya , uang 500 rupiah mustahil lebih banyak dari 1000 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 500 rupiah itu mustahil akan lebih banyak dari1000 rupiah. Contoh lainnya, usia seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya. Artinya secara akal bahwa seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya. Sebagaimana hukum wajib dalam Ilmu Tauhid, hukum mustahil juga ada yang ditentukan dengan memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya: Mustahil bumi ini berbentuk tiga segi. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil bumi ini berbentuk segi tiga, perkara tersebut harus diselidik dengan cermat yang bersenderkan kepada dalil kuat. Contoh lainnya: Mustahil Allah boleh mati. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil Allah boleh mati atau dibunuh, maka perkara tersebut hendaklah diselidiki lebih dahulu dengan bersenderkan kepada dalil yang kuat. 3- JAIZ (MUNGKIN): Apa arti Jaiz (mungkin) dalam ilmu Tauhid? Jaiz (mungkin) dalam ilmu tauhid ialah akal kita dapat menentukan atau menghukum bahwa sesuatu benda atau sesuatu dzat itu boleh demikian keadaannya atau boleh juga tidak demikian. Atau dalam arti lainya mungkin demikian atau mungkin tidak. Contohnya: penyakit seseorang itu mungkin bisa sembuh atau mungkin saja tidak bisa sembuh. Seseorang adalah dzat dan sembuh atau tidaknya adalah hukum jaiz (mungkin). Hukum jaiz (Mungkin) disini, tidak memerlukan hujjah atau dalil. Contoh lainya: bila langit mendung, mungkin akan turun hujan lebat, mungkin turun hujan rintik rintik, atau mungkin tidak turun hujan sama sekali. Langit mendung dan hujan adalah dzat, sementara lebat, rintik rintik atau tidak turun hujan adalah Hukum jaiz (Mungkin). Seperti hukum wajib dan mustahil, hukum jaiz (mungkin) juga kadang kandang memerlukan bukti atau dalil. Contohnya manusia mungkin bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum seperti terjadi pada kisah Ashabul Kahfi yang tertera dalam surat al-Kahfi. Kejadian manusia bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum mungkin terjadi tapi kita memerlukan dalil yang kuat diambil dari al-Qur’an.. Contoh lainnya: rumah seseorang dari di satu tempat mungkin bisa berpindah dengan sekejap mata ke tempat yang lain yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat asalnya seperti terjadi dalam kisah nabi Sulaiman as telah memindahkan istana Ratu Balqis dari Yaman ke negara Palestina yang jaraknya ribuan kilo meter. Kisah ini sudah barang tentu memerlukan dalil yang diambil dari al- Qu’ran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar